Minggu, 17 April 2016

Tugas 2



Terapi Humanistik Ekstensialis

1. Konsep dasar
            Terapi humanistik eksistensial memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman sadar. Terapi humanistik eksistensial juga lebih memusatkan perhatian pada apa yang dialami pasien pada masa-masa sekarang -"di sini dan kini"- dan bukan pada masa lampau.
Konsep-konsep utama :
a.       Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu.
b.      Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing).
c.       Penciptaan makna
Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan
2.      Unsur-unsur Eksistensial-humanistik
Tujuan eksistensial-humanistik :
a.       Agar klien mengalami keberadaanya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi.
b.      Meluaskan kesadaran diri klien dan meningkatkan kesanggupan pilihannya.
c.       Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri.
3.      Teknik terapi
Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Metode-metode yang berasal dari terapi gestalt dan analisis transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial humanistik.

Terapi Person Centered
1.      Konsep dasar pandangan Carl Rogers Tentang perilaku/ kepribadian

Carl Rogers adalah psikolog humanistik kebangsaan Amerika yang berfokus pada hubungan tarapeutik dan mengembangkan metode baru terapi berpusat pada klien. Rogers adalah salah satu individu yang pertama kali menggunakan istilah klien bukan pasien. Terapi berpusat pada klien berfkous pada peran klien, bukan ahli terapi, sebagai proses kunci penyembuhan. Rogers yakin bahwa setiap orang menjalani hidup di dunia secara berbeda dan mengetahui pengalaman terbaiknya. Menurut Rogers, klien benar – benar “berupaya untuk sembuh” dan dalam hubungan ahli terapi – klien yang suportif dan saling menghargai, klien dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Klien berada di posisi terbaik untuk mengetahui pengalamannya sendiri dan memahami pengalamannya tersebut. Untuk memperoleh harga dirinya dan mencapai aktualisasi diri tersebut.
Berbagai istilah dan konsep yang muncul dalam penyajian teori Rogers mengenai kepribadian dan perilaku yang sering memiliki arti yang unik dan khas dalam orientasi sebagai berikut :

1.      Pengalaman

Pengalaman mengacu pada dunia pribadi individu. Setiap saat, sebagian dari hal ini terkait akan kesadaran. Misalnya, kita merasakan tekanan pena terhadap jari – jari kita seperti yang kita tulis. Beberapa mungkin sulit untuk membawa ke dalam kesadaran, seperti ide, “Aku orang yang agresif”. Sementara kesadaran masyarakat yang sebenarnya dari total lapangan pengalaman mereka mungkin terbatas, setiap individu adalah satu – satunya yang bisa tahu itu seluruhnya.

2.      Realitas

Untuk tujuan psikologis, realitas pada dasarnya adalah dunia pribadi dari persepsi individu, meskipun untuk tujuan sosial realitas terdiri dari orang – orang yang memiliki persepsi tingkat tinggi kesamaan antara berbagai individu. Dua orang akan setuju pada kenyataan bahwa orang tertentu adalah politisi. Satu melihat dirinya sebagai seorang wanita baik yang ingin membantu orang dan berdasarkan kenyataan orang menilai untuk dirinya. Kenyataannya orang lain adalah bahwa politisi menyisihkan uang untuk rakyat dalam memiliki tujuan untuk memenangi hati dari rakyat. Oleh karena itu orang ini memberi suara padanya (wanita). Dalam terapi, di sebut sebagai merubah perasaan dan merubah persepsi.

3.      Organisme Bereaksi sebagai Terorganisir yang utuh

Seseorang mungkin lapar, tetapi karena harus menyelesaikan laporan. Maka, orang tersebut akan melewatkan makan siang. Dalam psikoterapi, klien sering menjadi lebih jelas tentang apa yang lebih penting bagi mereka. Sehingga perubahan perilaku di arahkan dalam tujuan untuk di klasifikasikan. Seorang politisi dapat memutuskan untuk tidak mrncalonkan diri untuk mendapatkan jabatan karena ia memutuskan bahwa kehidupan keluarganya lebih penting dari pada mencalonkan diri sebagai pejabat.

4.      Organisme mengaktualisasi kecenderungan (The Organism Actualizing Tendency)

Ini adalah prinsip utama dalam tulisan – tulisan dari Kurt Goldstein, Hobart Mowrer, Harry Stack Sullivan, Karen Horney, dan Andras Angyai. Untuk nama hanya beberapa. Perjuangan untuk mengajarkan anak dalam belajar jalan adalah sebuah contoh. Ini adalah keyakinan Rogers dan keyakinan sebagaian besar teori kepribadian yang lain. Di beri pilihan bebas dan tidak adanya kekuatan eksternal. Individu lebih memilih untuk menjadi sehat daripada sakit, untuk menjadi independen dari pada bergantung. Dan secara umum untuk mendorong pengembangan optimal dari organisme total.

5.      Frame Internal Referensi

Ini adalah bidang persepsi individu. Ini adalah cara dunia muncul dan sebuah makna yang melekat pada pengalaman dan melibatkan perasaaan. Dari titik orang memiliki pusat pandangan. Kerangka acuan internal memberikan pemahamana sepenuhnya tentang mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Hal ini harus di bedakan dari penilaian eksternal perilaku, sikap, dan kepribadian.

6.      Konsep Diri

Istilah – istilah mengacu pada gesalt, terorganisir konsisten, konseptual terdiri dari persepsi karakteristik “I” atau “saya” dan persepsi tentang hubungan dari “I” atau “Aku” kepada orang lain dan berbagai aspek kehidupan, bersama dengan nilai – nilai yang melekat pada persepsi ini. Menurut Gesalt kesadaran merupakan cairan dan proses perubahan.

7.      Symbolization

Ini adalah proses di mana individu menjadi sadar. Ada kecenderungan untuk menolak simbolisasi untuk pengalaman berbeda dengan konsep dirinya. Misalnya, orang – orang menganggap dirinya benar akan cenderung menolak simbolisasi tindakan berbohong. Pengalaman ambigu cenderung di lambangkan dengan cara yang konsisten dengan konsep diri. Seorang pembicara kurang percaya diri dapat di lambangkan khalayak diam sebagai terkesan, orang yang percaya diri dapat melambangkan sebuah kelompok yang penuh perhatian dan tertarik.

8.      Penyesuaian Psikologis & Ketidakmampuan Menyesuaikan diri

Hal ini mengacu pada konsistensi, atau kurangnya konsistensi, antara pengalaman individu sensorik dan konsep diri. Sebuah konsep diri yang mencakup unsur – unsur kelemahan dan ketidaksempurnaan memfasilitasi simbolisasi dari pengalaman kegagalan. Kebutuhan untuk menolak atau mendistorsi pengalaman seperti tidak ada dan karena itu menumbuhkan kondisi penyesuaian psikologis.

9.      Organismic Valuing Process

Ini adalah proses yang berkelanjutan di mana individu bebas bergantung pada bukti indra mereka sendiri untuk membuat penilaian. Hal ini yang berbeda dengan sistem fixed menilai intrijected di tandai dengan “kewajiban” dan “keharusan” dan juga dengan apa yang seharusnya benar / salah. Proses menilai organismic konsisten dengan hipotesis.

10.  The Fully Functioning Person

Rogers mendefinisikan mereka yang bergantung pada Organismic valuing process seperti Fully functioning person. Dapat mengalami semua perasaan mereka, ketakutan, memungkinkan kesadaran bergerak bebas di dalam pikiran mereka dan melalui pengalaman mereka.

2.      Unsur – Unsur Terapi (Person – Centered)

1.      Peran Terapis
Menurut Rogers, peran terapis bersifat holistik, berakar pada cara mereka berada dan sikap – sikap mereka, tidak pada teknik – teknik yang di rancang agar klien melakukan sesuatu. Penelitian menunjukkan bahwa sikap – sikap terapislah yang memfasilitasi perubahan pada klien dan bukan pengetahuan, teori, atau teknik – teknik yang mereka miliki. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai instrument perubahan. Fungsi mereka menciptakan iklim terapeutik yang membantu klien untuk tumbuh. Rogers, juga menulis tentang I-Thou. Terapis menyadari bahasa verbal dan nonverbal klien dan merefleksikannya kembali. Terapis dan klien tidak tahu kemana sesi akan terarah dan sasaran apa yang akan di capai. Terapis percaya bahwa klien akan mengembangkan agenda mengenai apa yang ingin di capainya. Terapis hanya fasilitator dan kesabaran adalah esensial.

2.      Tujuan Terapis


Rogers berpendapat bahwa terapis tidak boleh memaksakan tujuan – tujuan atau nilai – nilai yang di milikinya pada pasien. Fokus dari terapi adalah pasien. Terapi adalah nondirektif, yakni pasien dan bukan terapis memimpin atau mengarahkan jalannya terapi. Terapis memantulkan perasaan – perasaan yang di ungkapkan oleh pasien untuk membantunya berhubungan dengan perasaan – perasaanya yang lebih dalam dan bagian – bagian dari dirinya yang tidak di akui karena tidak diterima oleh masyarakat. Terapis memantulkan kembali atau menguraikan dengan kata – kata pa yang di ungkapkan pasien tanpa memberi penilaian.



3.       Teknik – Teknik Terapi

Untuk terapis person – centered, kualitas hubungan terapis jauh lebih penting daripada teknik. Rogers, percaya bahwa ada tiga kondisi yang perlu dan sudah cukup terapi, yaitu :

1.      Empathy
2.      Positive Regard (acceptance)
3.      Congruence

Empati adalah kemampuan terapis untuk merasakan bersama dengan klien dan menyampaikan pemahaman ini kembali kepada mereka. Empati adalah usaha untuk berpikir bersama dan bukan berpikir tentang atau mereka. Rogers mengatakan bahwa penelitian yang ada makin menunjukkan bahwa empati dalam suatu hubungan mungkin adalah faktor yang paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah satu faktor yang membawa perubahan dan pembelajaran.




Logoterapi (Frankl)
a.      Konsep Dasar
Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Tentu saja ini merupakan kerangka, di dalamnya segala sesuatu yang lain diatur. Frankl berpendapat bahwa manusia harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan kemudian setelah menemukan mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna, dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl yang dinamakan Logoterapi. Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yakni kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup. Kata “logo” berasal dari bahasa Yunani “logos” yang berarti makna atau meaning dan juga “rohani”. Adapun kata “terapi” berasal dari bahasa Inggris therapy yang artinya penggunaan teknik-teknik menyembuhkan dan mengurangi suatu penyakit. Jadi, kata logoterapi artinya penggunaan teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit melalui penemuan makna hidup.
b.      Unsur-unsur Logoterapi
Tujuan logoterapi menyangkut beberapa hal. Terapis pertama-tama harus memperlebar dan meperluas medan visual dari pasien sehingga seluruh spectrum makna dan nilai-nilai disadari dan kelihatan olehnya. Dengan demikian, usaha pasien untuk berpusat pada dirinya sendiri dipecahkan karena ia dikonfrontasikan dengan dan diarahkan kepada makna hidupnya. Pemenuhan diri sendiri hanya bisa tercapai sejauh manusia telah memenuhi makna konkret dari eberadaan pribadinya langkah-langkah dalam proses terapi Terdapat 4 langkah dalam proses logoterapi antara lain :
1)      Menghadapi Situasi Itu.
Diagnosis yang tepat merupakan langkah pertama dalam terapi dan merupakan sesuatu yang penting. Seluruh gangguan fisik pasien merupakan faktor-faktor fisik, psikologis, dan spiritual. Tidak ada neurosis somatogenik, psikogenik, noogenik saja.. tujuan diagnosis adalah menentukan sifat dari setiap faktor dan mengindentifikasi faktor manakah yang dominan. Apabila faktor fisik yang dominan, maka kondisi itu disebut psikosis,dan apabila faktor psikologis yang dominan maka kondisi tersebut adalah neurosis. Sebaliknya, apabila faktor spiritual yang dominan maka kondisi tersebut adalah neurosis noogenik.
2)      Kesadaran akan Simtom.
Dalam menangani reaksi-reaksi neurosis psikogenik, logoterapi diarahkan bukan pada simtom-simtom dan bukan juga pada penyebab psikis, melainkan sikap pasien terhadap simtom-simtom tersebut. Dalam mengubah sikap pasien terhadap simtom-simtom itu, logoterapi benar-benar merupakan suatu terapi yang personalistik.
3)      Mencari Penyebab
Logoterapi adalah suatu terapi khusus bagi frustasi eksistensial (kehampaan eksistensial) atau frustasi terhadap keinginan akan makna. Kondisi-kondisi ini jika menghasilkan simtom-simtom neurotic, maka disebut neurosis noogenik. Logoterapi berurusan dengan penyadaran manusia terhadap tanggung jawabnya karena tanggung jawab merupakan dasar yang hakiki bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab berarti kewajiban, dan kewajiban tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitanya dengan makna, yakni makna hidup manusia. Jadi, logoterapi berkenaan dengan mana dalam berbagai aspek dan bidang-bidangnya. Makna keberadaan itu dapat berupa makna hidup dan mati.
4)      Menemukan Hubungan antara Penyebab dan Simtom
Neurosis kecemasan dan keadaan fobia ditandai oleh kecemasan antisipatori yang menimbulkan kondisi yang ditakuti pasien. Terjadinya kondisi tersebut kemudian memperkuat kecemasan antisipatori yang mengakibatkan lingkaran setan sehingga pasien menghindar atau menarik diri dari situasi-situasi tersebut, dimana ia merasakan bahwa kecemasanya akan terjadi. Dalam kasus-kasus yang menyangkut kecemasan antisipatori, teknik logoterapi yang disebut intense paradoksikal (paradoxical intention) sangat berguna.
c.       Teknik Logoterapi
Dijelaskan dalam Semiun (2006) teknik-teknik logoterapi terdiri atas intensi paradoksikal, Derefleksi dan Bimbingan Rohani.
1.      Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal adalah teknik dimana klien diajak melakukan sesuatu yang paradoks dengan sikap klien terhadap situasi yang dialami. Jadi klien diajak mendekati dan mengejek sesuatu (gejala) dan bukan menghindarinya atau melawannya. Teknik ini pada dasarnya bertujuan lebih daripada perubahan pola-pola tingkah laku. Lebih baik dikatakan suatu reorientasi eksistensial. Menurut logoterapi disebut antagonisme psikonoetik yang mengacu pada kapasitas manusia untuk melepaskan atau memisahkan dirinya tidak hanya dari dunia, tetapi juga dari dirinya sendiri.
2.      Derefleksi
Frankl (dalam Semiun, 2006) percaya, bahwa sebagian besar persoalan kejiwaan berasal dari perhatian yang terlalu fokus pada diri sendiri. Dengan mengalihkan perhatian dari diri sendiri dan mengarahkannya pada orang lain, persoalan-persoalan itu akan hilang dengan sendirinya. Dengan teknik tersebut, klien diberi kemungkinan untuk mengabaikan neurosisnya dan memusatkan perhatian pada sesuatu yang terlepas dari dirinya.
3.      Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan, atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya. Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya, dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.

Tulisan 2
Contoh Kasus yang Biasa Ditangani dan Efeknya
1.      Kasus Pertama :
Sebagai contoh, Leon seorang mahasiswa, mungkin melihat dirinya sebagai dokter masa depan, tetapi  nilainya yang dikeluarkan dari sekolah kedokteran ternyata dibawah rata-rata. Perbedaan antara dengan apa Leon melihat dirinya (konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dia (ideal konsep diri) dan realitas kinerja akademis yang buruk dapat menyebabkan kegelisahan dan kerentanan pribadi, yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan untuk masuk terapi. Leon harus melihat bahwa ada masalah atau, setidaknya bahwa ia tidak cukup nyaman untuk menghadapi penyesuaian psikologis untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk perubahan.
Konseling berlangsung, klien dapat mengeksplorasi lebih luas keyakinannya dan perasaan (Rogers, 1967). Mereka dapat mengekspresikan ketakutan mereka, rasa bersalah kecemasan, malu, kebencian, kemarahan, dan lain sebagainya. emosi telah dianggap terlalu negatif untuk menerima dan memasukkan ke dalam diri mereka. Dengan terapi, orang distortir kurang dan pindah ke penerimaan yang lebih besar dan integrasi perasaan yang saling bertentangan dan membingungkan. Mereka semakin menemukan aspek dalam diri mereka yang telah disimpan tersembunyi.
Sebagai klien merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman mereka. Karena mereka merasa lebih aman dan kurang rentan, mereka menjadi lebih realistis, menganggap orang lain dengan akurasi yang lebih besar, dan menjadi lebih mampu untuk memahami dan menerima orang lain. Individu dalam terapi datang untuk menghargai diri mereka lebih seperti mereka, dan perilaku mereka menunjukkan lebih banyak fleksibilitas dan kreativitas. Mereka menjadi kurang peduli tentang memenuhi harapan orang lain, dan dengan demikian mulai berperilaku dengan cara yang lebih benar untuk diri mereka sendiri. Mereka bergerak ke arah yang lebih berhubungan dengan apa yang mereka alami pada saat ini, kurang terikat oleh masa lalu, kurang ditentukan, lebih bebas untuk membuat keputusan, dan semakin percaya diri masuk untuk mengelola kehidupan mereka sendiri.
Dari contoh kasus Leon dapat diambil kesimpukan bahwa salah satu alasan klien mencari terapi adalah perasaan tidak berdaya dasar, dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan hidup mereka sendiri. Mereka mungkin berharap untuk menemukan “jalan” melalui bimbingan terapis. Dalam kerangka orang-terpusat, namun klien segera belajar bahwa mereka dapat bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dalam hubungan dan bahwa mereka dapat belajar menjadi lebih bebas dengan menggunakan hubungan untuk mendapatkan diri yang lebih besar pemahaman.

2.      Kasus Kedua   :
Sungguh mengenaskan, seorang ibu muda (Junania Mercy 37) meracuni ke-empat anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir rambutnya, kemudian disandingkan bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur. Kemudian baru sang ibu mengakhiri hidupnya dengan minum racun yang sama. Kejadian yang cukup menyayat hati, 4 orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur saja, sang ibu ingin anak-anaknya ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa dibayangkan bahwa ibu itu menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah buang-air, entah badannya kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan sebuah ponsel kemudian ia membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan rapi. Waktu yang mungkin cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian terbaiknya dan mengakhiri hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika ditemukan tidak sebersih anak-anaknya.
Ibu Mercy adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan rumah-tangga, ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai penyakit kelainan darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana lagi harus meminta tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak terungkapkan dengan suara, ia bunuh diri.
Pada saat seorang klien ingin bunuh diri karena merasa sudah tidak dapat menanggung beban hidup diri & keluarganya, seperti kasus bu Mercy. Terapis Eksistensial mungkin memandangnya sebagai simbolik. Karena bukankah berarti klien merasa mati sebagai pribadi, apakah klien menggunakan potensi manusiawinya, apakah klien memilih mati hanya sekedar mengukuhkan kehidupan. Terapis Eksistensial akan mengonfrontasikan klien dengan masalah makna dan maksud dalam hidupnya. Sehingga klien mempunyai alasan untuk ingin melanjutkan hidup & melakukan sesuatu untuk menemukan guna tujuan yang akan membuat dirinya merasa lebih berarti dan hidup, karena dalam terapis konselor akan mengajak klien memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang hidup berdampingan dan selalu dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit atau manis sehingga mampu eksis dalam kehidupannya.
Perasaan bersalah (kasus: tidak mampu membiayai pengobatan anaknya) adalah kekuatan dominan dalam kehidupan klien. Bagaimanapun banyak dari perasaan bersalahnya yang merupakan perasaan bersalah neurotik karena ia berlandaskan pandangan tentang mengecewakan orang lain dan bukan memenuhi pengharapan mereka. Klien harus belajar bahwa perasaan bersalah akan berguna jika berlandaskan kesadarannya atas penyia-nyian potensinya sendiri. Terapi eksistensial akan melihat harapan klien dalam belajar untuk menemukan keterpusatannnya sendiri dan dalam hidup dengan nilai-nilai yang dipilih dan diciptakannya sendiri. Dia juga bisa berhubungan dengan orang lain dengan kekuatannya sendiri untuk membentuk suatu hubungan yang dependen.
Tujuan dari terapi ini adalah menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan. Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri. Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab arah kehidupannya sendiri.
3.      Kasus Ketiga: Introspeksi Sebagai Terapi Humanistik Eksistensial
Introspeksi adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental yang disadari dan biasanya dengan maksud tertentu dengan berlandaskan pada pikiran dan perasaannya. Bisa juga disebut sebagai kontemplasi pribadi, dan berlawanan dengan ekstropeksi yang berupa pengamatan terhadap objek-objek di luar diri. Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri.
Sering dikatakan bahwa Wilhelm Wundt, bapak psikologi modern adalah orang pertama yang mengadopsi introspeksi pada psikologi eksperimental, meskipun gagasan metodologisnya telah disajikan lama sebelumnya, seperti pada abad ke-18 filsuf merangkap psikolog Jerman seperti Alexander Gottlieb Baumgarten atau Johann Nicolaus Tetens. Introspeksi adalah pemeriksaan pikiran dan perasaan sadar diri sendiri. Dalam psikologi proses introspeksi bergantung secara eksklusif pada pengamatan kondisi mental seseorang, sementara dalam konteks spiritual mungkin merujuk pada pemeriksaan jiwa seseorang. Introspeksi berkaitan erat dengan refleksi diri manusia dan kontras dengan ekstrospeksi. Introspeksi umumnya menyediakan akses istimewa ke keadaan mental kita sendiri, tidak dimediasi oleh sumber-sumber pengetahuan lainnya, sehingga pengalaman individu dari pikiran adalah unik. Introspeksi dapat menentukan sejumlah keadaan mental termasuk: Sensorik, fisik, kognitif, emosional dan sebagainya.
Pada beberapa kepercayaan introspeksi digunakan sebagai cara untuk terapi diri contohnya adalah pada agama Islam, penganut agama Islam mengenal introspeksi diri dengan kata muhasabah. Muhasabah sendiri memiliki arti introspeksi atau mawas atau meneliti diri, yaitu menghitung perbuatan pada tiap tahun, tiap bulan, tiap hari bahkan setiap saat. Dalam bermuhasabah seorang muslim melakukan review terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini adalah benar dan sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Kegiatan ini memiliki kesamaan dengan salah satu metode psikoterapi yaitu self-help atau menolong diri sendiri serta dalam pelaksanaan instropeksi diri menggunakan prinsip humanistik bahwa sebenarnya jawaban atas masalah manusia terdapat dalam dirinya sendiri.
Dalam melakukan introspeksi seseorang melakukan pengamatan terhadap apa yang telah ia lakukan selama ini, kemudian ia menilai apakah yang ia lakukan telah sesuai dengan hidupnya atau tidak, yaitu apakah ia sudah memenuhi perannya dengan baik (sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sesuai status yang melekat pada dirinya). Setelah melakukan proses pengamatan tersebut jika sudah terpenuhi maka ia dapat menyukuri atau menaikkan tujuannya lebih tinggi, namun jika belum terpenuhi maka ia akan melakukan pemikiran yang lebih jauh untuk menemukan hal-hal yang menghambatnya dalam memenuhi perannya serta menentukan tindakan serta membangun rencana yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi diri untuk mencapai tujuan pemenuhan peran tersebut.


Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Corey, Gerald. 1995. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.

Corey, Gerald. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung : PT. Eresku.

Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi “Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta : Kanisius.
Tasmara, T. (2001).  Kecerdasan ruhaniah. Jakarta: Gema Insani.