Terapi Humanistik Ekstensialis
1.
Konsep dasar
Terapi
humanistik eksistensial memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman sadar.
Terapi humanistik eksistensial juga lebih memusatkan perhatian pada apa yang
dialami pasien pada masa-masa sekarang -"di sini dan kini"- dan bukan
pada masa lampau.
Konsep-konsep utama :
a. Kesadaran diri
Manusia
memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang
unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin
kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan
yang ada pada orang itu.
b. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran
atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi
atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh
kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk
mati (nonbeing).
c. Penciptaan makna
Manusia
itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan
menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan
2. Unsur-unsur
Eksistensial-humanistik
Tujuan
eksistensial-humanistik :
a. Agar klien mengalami keberadaanya secara otentik
dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi.
b. Meluaskan kesadaran diri klien dan meningkatkan
kesanggupan pilihannya.
c. Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan
sehubungan dengan tindakan memilih diri.
3. Teknik
terapi
Tidak
seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-humanistik tidak
memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Metode-metode yang berasal
dari terapi gestalt dan
analisis transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur
psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial humanistik.
Terapi
Person Centered
1. Konsep
dasar pandangan Carl Rogers Tentang perilaku/ kepribadian
Carl
Rogers adalah psikolog humanistik kebangsaan Amerika yang berfokus pada
hubungan tarapeutik dan mengembangkan metode baru terapi berpusat pada klien.
Rogers adalah salah satu individu yang pertama kali menggunakan istilah klien
bukan pasien. Terapi berpusat pada klien berfkous pada peran klien, bukan ahli
terapi, sebagai proses kunci penyembuhan. Rogers yakin bahwa setiap orang
menjalani hidup di dunia secara berbeda dan mengetahui pengalaman terbaiknya.
Menurut Rogers, klien benar – benar “berupaya untuk sembuh” dan dalam hubungan
ahli terapi – klien yang suportif dan saling menghargai, klien dapat
menyembuhkan dirinya sendiri. Klien berada di posisi terbaik untuk mengetahui
pengalamannya sendiri dan memahami pengalamannya tersebut. Untuk memperoleh
harga dirinya dan mencapai aktualisasi diri tersebut.
Berbagai
istilah dan konsep yang muncul dalam penyajian teori Rogers mengenai
kepribadian dan perilaku yang sering memiliki arti yang unik dan khas dalam
orientasi sebagai berikut :
1.
Pengalaman
Pengalaman
mengacu pada dunia pribadi individu. Setiap saat, sebagian dari hal ini terkait
akan kesadaran. Misalnya, kita merasakan tekanan pena terhadap jari – jari kita
seperti yang kita tulis. Beberapa mungkin sulit untuk membawa ke dalam
kesadaran, seperti ide, “Aku orang yang agresif”. Sementara kesadaran
masyarakat yang sebenarnya dari total lapangan pengalaman mereka mungkin
terbatas, setiap individu adalah satu – satunya yang bisa tahu itu seluruhnya.
2.
Realitas
Untuk
tujuan psikologis, realitas pada dasarnya adalah dunia pribadi dari persepsi
individu, meskipun untuk tujuan sosial realitas terdiri dari orang – orang yang
memiliki persepsi tingkat tinggi kesamaan antara berbagai individu. Dua orang
akan setuju pada kenyataan bahwa orang tertentu adalah politisi. Satu melihat
dirinya sebagai seorang wanita baik yang ingin membantu orang dan berdasarkan
kenyataan orang menilai untuk dirinya. Kenyataannya orang lain adalah bahwa
politisi menyisihkan uang untuk rakyat dalam memiliki tujuan untuk memenangi hati
dari rakyat. Oleh karena itu orang ini memberi suara padanya (wanita). Dalam
terapi, di sebut sebagai merubah perasaan dan merubah persepsi.
3.
Organisme Bereaksi sebagai Terorganisir yang utuh
Seseorang
mungkin lapar, tetapi karena harus menyelesaikan laporan. Maka, orang tersebut
akan melewatkan makan siang. Dalam psikoterapi, klien sering menjadi lebih
jelas tentang apa yang lebih penting bagi mereka. Sehingga perubahan perilaku
di arahkan dalam tujuan untuk di klasifikasikan. Seorang politisi dapat
memutuskan untuk tidak mrncalonkan diri untuk mendapatkan jabatan karena ia
memutuskan bahwa kehidupan keluarganya lebih penting dari pada mencalonkan diri
sebagai pejabat.
4.
Organisme mengaktualisasi kecenderungan (The Organism Actualizing Tendency)
Ini
adalah prinsip utama dalam tulisan – tulisan dari Kurt Goldstein, Hobart
Mowrer, Harry Stack Sullivan, Karen Horney, dan Andras Angyai. Untuk nama hanya
beberapa. Perjuangan untuk mengajarkan anak dalam belajar jalan adalah sebuah
contoh. Ini adalah keyakinan Rogers dan keyakinan sebagaian besar teori
kepribadian yang lain. Di beri pilihan bebas dan tidak adanya kekuatan
eksternal. Individu lebih memilih untuk menjadi sehat daripada sakit, untuk
menjadi independen dari pada bergantung. Dan secara umum untuk mendorong
pengembangan optimal dari organisme total.
5.
Frame Internal Referensi
Ini
adalah bidang persepsi individu. Ini adalah cara dunia muncul dan sebuah makna
yang melekat pada pengalaman dan melibatkan perasaaan. Dari titik orang
memiliki pusat pandangan. Kerangka acuan internal memberikan pemahamana
sepenuhnya tentang mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Hal
ini harus di bedakan dari penilaian eksternal perilaku, sikap, dan kepribadian.
6.
Konsep Diri
Istilah
– istilah mengacu pada gesalt, terorganisir konsisten, konseptual terdiri dari
persepsi karakteristik “I” atau “saya” dan persepsi tentang hubungan dari “I”
atau “Aku” kepada orang lain dan berbagai aspek kehidupan, bersama dengan nilai
– nilai yang melekat pada persepsi ini. Menurut Gesalt kesadaran merupakan
cairan dan proses perubahan.
7.
Symbolization
Ini
adalah proses di mana individu menjadi sadar. Ada kecenderungan untuk menolak
simbolisasi untuk pengalaman berbeda dengan konsep dirinya. Misalnya, orang –
orang menganggap dirinya benar akan cenderung menolak simbolisasi tindakan
berbohong. Pengalaman ambigu cenderung di lambangkan dengan cara yang konsisten
dengan konsep diri. Seorang pembicara kurang percaya diri dapat di lambangkan khalayak
diam sebagai terkesan, orang yang percaya diri dapat melambangkan sebuah
kelompok yang penuh perhatian dan tertarik.
8.
Penyesuaian Psikologis & Ketidakmampuan Menyesuaikan diri
Hal
ini mengacu pada konsistensi, atau kurangnya konsistensi, antara pengalaman
individu sensorik dan konsep diri. Sebuah konsep diri yang mencakup unsur –
unsur kelemahan dan ketidaksempurnaan memfasilitasi simbolisasi dari pengalaman
kegagalan. Kebutuhan untuk menolak atau mendistorsi pengalaman seperti tidak
ada dan karena itu menumbuhkan kondisi penyesuaian psikologis.
9.
Organismic Valuing Process
Ini
adalah proses yang berkelanjutan di mana individu bebas bergantung pada bukti
indra mereka sendiri untuk membuat penilaian. Hal ini yang berbeda dengan sistem
fixed menilai intrijected di tandai dengan “kewajiban” dan “keharusan” dan juga
dengan apa yang seharusnya benar / salah. Proses menilai organismic konsisten
dengan hipotesis.
10.
The Fully Functioning Person
Rogers
mendefinisikan mereka yang bergantung pada Organismic valuing process seperti
Fully functioning person. Dapat mengalami semua perasaan mereka, ketakutan,
memungkinkan kesadaran bergerak bebas di dalam pikiran mereka dan melalui
pengalaman mereka.
2. Unsur
– Unsur Terapi (Person – Centered)
1.
Peran Terapis
Menurut
Rogers, peran terapis bersifat holistik, berakar pada cara mereka berada dan
sikap – sikap mereka, tidak pada teknik – teknik yang di rancang agar klien
melakukan sesuatu. Penelitian menunjukkan bahwa sikap – sikap terapislah yang
memfasilitasi perubahan pada klien dan bukan pengetahuan, teori, atau teknik –
teknik yang mereka miliki. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai
instrument perubahan. Fungsi mereka menciptakan iklim terapeutik yang membantu
klien untuk tumbuh. Rogers, juga menulis tentang I-Thou. Terapis menyadari
bahasa verbal dan nonverbal klien dan merefleksikannya kembali. Terapis dan
klien tidak tahu kemana sesi akan terarah dan sasaran apa yang akan di capai.
Terapis percaya bahwa klien akan mengembangkan agenda mengenai apa yang ingin
di capainya. Terapis hanya fasilitator dan kesabaran adalah esensial.
2.
Tujuan Terapis
Rogers
berpendapat bahwa terapis tidak boleh memaksakan tujuan – tujuan atau nilai –
nilai yang di milikinya pada pasien. Fokus dari terapi adalah pasien. Terapi
adalah nondirektif, yakni pasien dan bukan terapis memimpin atau mengarahkan
jalannya terapi. Terapis memantulkan perasaan – perasaan yang di ungkapkan oleh
pasien untuk membantunya berhubungan dengan perasaan – perasaanya yang lebih
dalam dan bagian – bagian dari dirinya yang tidak di akui karena tidak diterima
oleh masyarakat. Terapis memantulkan kembali atau menguraikan dengan kata –
kata pa yang di ungkapkan pasien tanpa memberi penilaian.
3. Teknik
– Teknik Terapi
Untuk
terapis person – centered, kualitas hubungan terapis jauh lebih penting
daripada teknik. Rogers, percaya bahwa ada tiga kondisi yang perlu dan sudah
cukup terapi, yaitu :
1.
Empathy
2.
Positive Regard (acceptance)
3.
Congruence
Empati
adalah kemampuan terapis untuk merasakan bersama dengan klien dan menyampaikan
pemahaman ini kembali kepada mereka. Empati adalah usaha untuk berpikir bersama
dan bukan berpikir tentang atau mereka. Rogers mengatakan bahwa penelitian yang
ada makin menunjukkan bahwa empati dalam suatu hubungan mungkin adalah faktor
yang paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah satu faktor yang
membawa perubahan dan pembelajaran.
Logoterapi (Frankl)
a. Konsep Dasar
Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis
menekankan pentingnya kemauan akan arti. Tentu saja ini merupakan kerangka, di
dalamnya segala sesuatu yang lain diatur. Frankl berpendapat bahwa manusia
harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan kemudian setelah menemukan
mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna, dan
kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup
inilah prinsip utama teori Frankl yang dinamakan Logoterapi. Logoterapi
memiliki tiga konsep dasar, yakni kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna,
dan makna hidup. Kata “logo” berasal dari bahasa Yunani “logos” yang berarti
makna atau meaning dan juga “rohani”. Adapun kata “terapi” berasal dari bahasa
Inggris therapy yang artinya penggunaan teknik-teknik menyembuhkan dan
mengurangi suatu penyakit. Jadi, kata logoterapi artinya penggunaan teknik
untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit melalui
penemuan makna hidup.
b. Unsur-unsur
Logoterapi
Tujuan logoterapi menyangkut beberapa hal. Terapis
pertama-tama harus memperlebar dan meperluas medan visual dari pasien sehingga
seluruh spectrum makna dan nilai-nilai disadari dan kelihatan olehnya. Dengan
demikian, usaha pasien untuk berpusat pada dirinya sendiri dipecahkan karena ia
dikonfrontasikan dengan dan diarahkan kepada makna hidupnya. Pemenuhan diri
sendiri hanya bisa tercapai sejauh manusia telah memenuhi makna konkret dari
eberadaan pribadinya langkah-langkah dalam proses terapi Terdapat 4 langkah
dalam proses logoterapi antara lain :
1) Menghadapi Situasi Itu.
Diagnosis yang tepat merupakan langkah pertama dalam
terapi dan merupakan sesuatu yang penting. Seluruh gangguan fisik pasien
merupakan faktor-faktor fisik, psikologis, dan spiritual. Tidak ada neurosis
somatogenik, psikogenik, noogenik saja.. tujuan diagnosis adalah menentukan
sifat dari setiap faktor dan mengindentifikasi faktor manakah yang dominan.
Apabila faktor fisik yang dominan, maka kondisi itu disebut psikosis,dan apabila
faktor psikologis yang dominan maka kondisi tersebut adalah neurosis.
Sebaliknya, apabila faktor spiritual yang dominan maka kondisi tersebut adalah
neurosis noogenik.
2) Kesadaran akan Simtom.
Dalam menangani reaksi-reaksi neurosis psikogenik,
logoterapi diarahkan bukan pada simtom-simtom dan bukan juga pada penyebab
psikis, melainkan sikap pasien terhadap simtom-simtom tersebut. Dalam mengubah
sikap pasien terhadap simtom-simtom itu, logoterapi benar-benar merupakan suatu
terapi yang personalistik.
3) Mencari Penyebab
Logoterapi adalah suatu terapi khusus bagi frustasi
eksistensial (kehampaan eksistensial) atau frustasi terhadap keinginan akan
makna. Kondisi-kondisi ini jika menghasilkan simtom-simtom neurotic, maka
disebut neurosis noogenik. Logoterapi berurusan dengan penyadaran manusia
terhadap tanggung jawabnya karena tanggung jawab merupakan dasar yang hakiki
bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab berarti kewajiban, dan kewajiban
tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitanya dengan makna, yakni makna hidup
manusia. Jadi, logoterapi berkenaan dengan mana dalam berbagai aspek dan
bidang-bidangnya. Makna keberadaan itu dapat berupa makna hidup dan mati.
4) Menemukan Hubungan antara Penyebab dan Simtom
Neurosis kecemasan dan keadaan fobia ditandai oleh
kecemasan antisipatori yang menimbulkan kondisi yang ditakuti pasien.
Terjadinya kondisi tersebut kemudian memperkuat kecemasan antisipatori yang
mengakibatkan lingkaran setan sehingga pasien menghindar atau menarik diri dari
situasi-situasi tersebut, dimana ia merasakan bahwa kecemasanya akan terjadi.
Dalam kasus-kasus yang menyangkut kecemasan antisipatori, teknik logoterapi
yang disebut intense paradoksikal (paradoxical intention) sangat berguna.
c. Teknik Logoterapi
Dijelaskan dalam Semiun (2006) teknik-teknik
logoterapi terdiri atas intensi paradoksikal, Derefleksi dan Bimbingan Rohani.
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal adalah teknik dimana
klien diajak melakukan sesuatu yang paradoks dengan sikap klien terhadap
situasi yang dialami. Jadi klien diajak mendekati dan mengejek sesuatu (gejala)
dan bukan menghindarinya atau melawannya. Teknik ini pada dasarnya bertujuan
lebih daripada perubahan pola-pola tingkah laku. Lebih baik dikatakan suatu
reorientasi eksistensial. Menurut logoterapi disebut antagonisme psikonoetik
yang mengacu pada kapasitas manusia untuk melepaskan atau memisahkan dirinya
tidak hanya dari dunia, tetapi juga dari dirinya sendiri.
2. Derefleksi
Frankl (dalam Semiun, 2006) percaya, bahwa sebagian
besar persoalan kejiwaan berasal dari perhatian yang terlalu fokus pada diri
sendiri. Dengan mengalihkan perhatian dari diri sendiri dan mengarahkannya pada
orang lain, persoalan-persoalan itu akan hilang dengan sendirinya. Dengan
teknik tersebut, klien diberi kemungkinan untuk mengabaikan neurosisnya dan
memusatkan perhatian pada sesuatu yang terlepas dari dirinya.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan
terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang
tidak dapat terhindarkan, atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya
dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya. Pada metode ini, individu
didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap
penderitaanya, dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.
Tulisan
2
Contoh
Kasus yang Biasa Ditangani dan Efeknya
1.
Kasus Pertama :
Sebagai
contoh, Leon seorang mahasiswa, mungkin melihat dirinya sebagai dokter masa
depan, tetapi nilainya yang dikeluarkan dari sekolah kedokteran ternyata
dibawah rata-rata. Perbedaan antara dengan apa Leon melihat dirinya
(konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dia (ideal konsep diri) dan
realitas kinerja akademis yang buruk dapat menyebabkan kegelisahan dan
kerentanan pribadi, yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan untuk masuk
terapi. Leon harus melihat bahwa ada masalah atau, setidaknya bahwa ia
tidak cukup nyaman untuk menghadapi penyesuaian psikologis untuk mengeksplorasi
kemungkinan untuk perubahan.
Konseling
berlangsung, klien dapat mengeksplorasi lebih luas keyakinannya dan perasaan (Rogers,
1967). Mereka dapat mengekspresikan ketakutan mereka, rasa bersalah
kecemasan, malu, kebencian, kemarahan, dan lain sebagainya. emosi telah
dianggap terlalu negatif untuk menerima dan memasukkan ke dalam diri
mereka. Dengan terapi, orang distortir kurang dan pindah ke penerimaan
yang lebih besar dan integrasi perasaan yang saling bertentangan dan
membingungkan. Mereka semakin menemukan aspek dalam diri mereka yang telah
disimpan tersembunyi.
Sebagai
klien merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi kurang defensif dan
menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman mereka. Karena mereka merasa
lebih aman dan kurang rentan, mereka menjadi lebih realistis, menganggap orang
lain dengan akurasi yang lebih besar, dan menjadi lebih mampu untuk memahami
dan menerima orang lain. Individu dalam terapi datang untuk menghargai
diri mereka lebih seperti mereka, dan perilaku mereka menunjukkan lebih banyak
fleksibilitas dan kreativitas. Mereka menjadi kurang peduli tentang
memenuhi harapan orang lain, dan dengan demikian mulai berperilaku dengan cara
yang lebih benar untuk diri mereka sendiri. Mereka bergerak ke arah yang lebih
berhubungan dengan apa yang mereka alami pada saat ini, kurang terikat oleh
masa lalu, kurang ditentukan, lebih bebas untuk membuat keputusan, dan semakin
percaya diri masuk untuk mengelola kehidupan mereka sendiri.
Dari
contoh kasus Leon dapat diambil kesimpukan bahwa salah satu alasan klien
mencari terapi adalah perasaan tidak berdaya dasar, dan ketidakmampuan untuk
membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan hidup mereka
sendiri. Mereka mungkin berharap untuk menemukan “jalan” melalui bimbingan
terapis. Dalam kerangka orang-terpusat, namun klien segera belajar bahwa
mereka dapat bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dalam hubungan dan
bahwa mereka dapat belajar menjadi lebih bebas dengan menggunakan hubungan
untuk mendapatkan diri yang lebih besar pemahaman.
2.
Kasus Kedua :
Sungguh
mengenaskan, seorang ibu muda (Junania Mercy 37) meracuni ke-empat
anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir rambutnya, kemudian disandingkan
bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur. Kemudian baru sang ibu mengakhiri
hidupnya dengan minum racun yang sama. Kejadian yang cukup menyayat hati, 4
orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur saja, sang ibu ingin anak-anaknya
ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa dibayangkan bahwa ibu itu
menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah buang-air, entah badannya
kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan sebuah ponsel kemudian ia
membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan rapi. Waktu yang mungkin
cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian terbaiknya dan mengakhiri
hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika ditemukan tidak sebersih
anak-anaknya.
Ibu
Mercy adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan
rumah-tangga, ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai
penyakit kelainan darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana
lagi harus meminta tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak
terungkapkan dengan suara, ia bunuh diri.
Pada
saat seorang klien ingin bunuh diri karena merasa sudah tidak dapat menanggung
beban hidup diri & keluarganya, seperti kasus bu Mercy. Terapis
Eksistensial mungkin memandangnya sebagai simbolik. Karena bukankah berarti
klien merasa mati sebagai pribadi, apakah klien menggunakan potensi
manusiawinya, apakah klien memilih mati hanya sekedar mengukuhkan kehidupan.
Terapis Eksistensial akan mengonfrontasikan klien dengan masalah makna dan maksud
dalam hidupnya. Sehingga klien mempunyai alasan untuk ingin melanjutkan hidup
& melakukan sesuatu untuk menemukan guna tujuan yang akan membuat dirinya
merasa lebih berarti dan hidup, karena dalam terapis konselor akan mengajak
klien memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang hidup berdampingan dan
selalu dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit atau manis sehingga mampu
eksis dalam kehidupannya.
Perasaan
bersalah (kasus: tidak mampu membiayai pengobatan anaknya) adalah kekuatan
dominan dalam kehidupan klien. Bagaimanapun banyak dari perasaan bersalahnya
yang merupakan perasaan bersalah neurotik karena ia berlandaskan pandangan
tentang mengecewakan orang lain dan bukan memenuhi pengharapan mereka. Klien
harus belajar bahwa perasaan bersalah akan berguna jika berlandaskan
kesadarannya atas penyia-nyian potensinya sendiri. Terapi eksistensial akan
melihat harapan klien dalam belajar untuk menemukan keterpusatannnya sendiri
dan dalam hidup dengan nilai-nilai yang dipilih dan diciptakannya sendiri. Dia
juga bisa berhubungan dengan orang lain dengan kekuatannya sendiri untuk
membentuk suatu hubungan yang dependen.
Tujuan
dari terapi ini adalah menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran
diri dan pertumbuhan. Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi
pribadi. Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan
memperluas kesadaran diri. Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab arah
kehidupannya sendiri.
3.
Kasus Ketiga: Introspeksi Sebagai Terapi
Humanistik Eksistensial
Introspeksi
adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam
yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental
yang disadari dan biasanya dengan maksud tertentu dengan berlandaskan pada
pikiran dan perasaannya. Bisa juga disebut sebagai kontemplasi pribadi, dan
berlawanan dengan ekstropeksi yang berupa pengamatan terhadap objek-objek di
luar diri. Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri.
Sering
dikatakan bahwa Wilhelm Wundt, bapak psikologi modern adalah orang pertama yang
mengadopsi introspeksi pada psikologi eksperimental, meskipun gagasan
metodologisnya telah disajikan lama sebelumnya, seperti pada abad ke-18 filsuf
merangkap psikolog Jerman seperti Alexander Gottlieb Baumgarten atau Johann
Nicolaus Tetens. Introspeksi adalah pemeriksaan pikiran dan perasaan sadar diri
sendiri. Dalam psikologi proses introspeksi bergantung secara eksklusif pada
pengamatan kondisi mental seseorang, sementara dalam konteks spiritual mungkin
merujuk pada pemeriksaan jiwa seseorang. Introspeksi berkaitan erat dengan
refleksi diri manusia dan kontras dengan ekstrospeksi. Introspeksi umumnya
menyediakan akses istimewa ke keadaan mental kita sendiri, tidak dimediasi oleh
sumber-sumber pengetahuan lainnya, sehingga pengalaman individu dari pikiran
adalah unik. Introspeksi dapat menentukan sejumlah keadaan mental termasuk:
Sensorik, fisik, kognitif, emosional dan sebagainya.
Pada
beberapa kepercayaan introspeksi digunakan sebagai cara untuk terapi diri
contohnya adalah pada agama Islam, penganut agama Islam mengenal introspeksi
diri dengan kata muhasabah. Muhasabah sendiri memiliki arti
introspeksi atau mawas atau meneliti diri, yaitu menghitung perbuatan pada tiap
tahun, tiap bulan, tiap hari bahkan setiap saat. Dalam bermuhasabah seorang
muslim melakukan review terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini adalah
benar dan sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Kegiatan ini memiliki kesamaan
dengan salah satu metode psikoterapi yaitu self-help atau menolong diri sendiri
serta dalam pelaksanaan instropeksi diri menggunakan prinsip humanistik bahwa
sebenarnya jawaban atas masalah manusia terdapat dalam dirinya sendiri.
Dalam
melakukan introspeksi seseorang melakukan pengamatan terhadap apa yang telah ia
lakukan selama ini, kemudian ia menilai apakah yang ia lakukan telah sesuai
dengan hidupnya atau tidak, yaitu apakah ia sudah memenuhi perannya dengan baik
(sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sesuai status yang melekat
pada dirinya). Setelah melakukan proses pengamatan tersebut jika sudah
terpenuhi maka ia dapat menyukuri atau menaikkan tujuannya lebih tinggi, namun
jika belum terpenuhi maka ia akan melakukan pemikiran yang lebih jauh untuk
menemukan hal-hal yang menghambatnya dalam memenuhi perannya serta menentukan
tindakan serta membangun rencana yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi
diri untuk mencapai tujuan pemenuhan peran tersebut.
Palmer, Stephen. 2010.
Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Corey, Gerald. 1995. Teori
dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.
Corey, Gerald. (1995).
Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung : PT. Eresku.
Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi “Psikologi untuk
Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta :
Kanisius.
Tasmara, T. (2001).
Kecerdasan ruhaniah. Jakarta: Gema Insani.